HIJRAHNYA MANGUN DJOJO MENGIKUTI PERINTAH ISLAM

Kata "hijrah" bagi sejarah peradaban Islam memiliki makna yang sangat penting. Musyawarah yang dipimpin oleh Amirul Mukminin Al-Faruk bahkan sepakat menjadikan kalender Islam dimulai dari tahun saat peristiwa Hijrahnya Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah yang dalam kalender Islam disebut Tahun Hijriyah.

Para sahabat Nabi menganggap peristiwa hijrah Rasulullah SAW sebagai kejadian yang paling penting dalam sejarah pembentukan Islam. Karena itu sangat tepat peristiwa itu menjadi awal tahun Hijriyah dibandingkan dengan peristiwa Islam penting lainnya. Beberapa peristiwa penting Islam, misalnya; kelahiran dan wafatnya Rasulullah SAW, tahun diangkatnya Muhammad SAW sebagai Nabi, peristiwa isra mi’raj maupun ketika Mekkah ditaklukan (Fathul Mekkah). Pada saat hijrah, Muhammad SAW didampingi sahabat setianya Abubakar Siddik r.a pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ke-13 sejak ke-Nabiannya ---masa itu diperkirakan ahli sejarah bertepatan dengan bulan September tahun 622 masehi.

Mungkin peristiwa itu yang mengilhami kepergian Mangun Djojo meninggalkan desa kelahirannya, Ketangi Daleman. Meski kepergiannya untuk mengobati rasa kecewa karena kalah (hanya) dua suara dalam pemilihan kepala desa, namun ia juga merasa yakin jika Allah SWT berkendak dirinya akan jauh lebih diperlukan jika berada di tempat lain.

Di pagi yang temaram dan sejuk, setelah usai melaksanakan sholat Subuh, ia berpamitan dengan kedua orang tuanya beserta adik-adiknya. Diiringi derai air mata, Mangun Djojo beserta keluarga dengan ditemani dua sahabat pengiringnya pergi melaksanakan hijrah seakan desa itu bukan lagi tanah kelahirannya.

Di awal perjalan, rombongan masih diantar oleh 2 (dua) delman hingga ke tengah Kota Purworejo. Pada etape berikutnya, rombongan terpaksa harus berjalan kaki dengan diselingi naik gerobak biasa maupun gerobak sapi racuk yang dijumpai seadanya di tengah jalan. Gerobak sapi itu biasanya didapati dalam keadaan kosong seusai mengantarkan barang dagangan maupun hasil bumi kelapa atau beras.

Konon setelah menempuh 3 (tiga) pekan perjalanan, rombongan Mangun Djojo tiba di Kabupaten Cilacap-Majenang-Tirtakencana. Setelah bermalam di Desa Sampang, di rumah seorang petani yang menjadi tempat bermalam ke-17, keesokan paginya mereka meneruskan kembali perjalanannya.

Kemudian rombongan tiba di Kabupaten Cilacap-Majenang. Berbekal surat pengantar dari RAA Cokronagoro I, rombongan tidak menemui hambatan yang berarti ketika sampai di wilayah tersebut. Bahkan surat tersebut langsung direkomendasikan ke Asisten Wedana Kroya agar dapat ditindaklanjuti.

Sepanjang perjalanan menuju Kroya, rombongan diantar oleh 3 (tiga) delman kantor disertai pengawalan khusus oleh seorang mantri polisi. Begitu tingginya kuasa Allah SWT yang diturunkan melalui keharuman nama RAA Cokronagoro I, membuat kedatangan rombongan telah menyita perhatian para ambtenaar Asistenan Kroya.

Sesampainya di Kroya, mantri polisi yang mengawal rombongan langsung melapor kedatangan rombongan serta menyerahkan surat pengantar Bupati Cilacap-Majenang kepada Asisten Wedana Kroya. Setelah mengerti maksud kedatangan rombongan, Asisten Wedana Kroya berkonsultasi dengan kepala juru tulis kantor untuk melihat wilayah kelurahan yang tepat dijadikan tempat tinggal rombongan Mangun Djojo.

Alkisah, mereka disarankan bermukim di Desa Gentasari. Karena hari sudah petang, perjalanan ke desa tersebut akan dilanjutkan keesokan hari pada jam 09.00 waktu Jawa (sekitar pukul 08.30 waktu Indonesia bagian barat). Perjalanan ke Gentasari akan diantar oleh 2 delman dan dipandu seorang petugas dari Asistenan Kroya. Malam itu rombongan berkesempatan bermalam di Asistenan Kroya.

Akhirnya Mangun Djojo beserta rombongan tiba di Gentasari. Lurah setempat menerimanya dengan baik dan tangan terbuka. Mereka dibuatkan rumah sederhana di sebidang tanah kosong milik kelurahan. Rumah yang berlokasi tidak jauh dari tempat tinggal Carik Gentasari itu, dibangun secara sederhana, terbuat dari tiang kayu, berdinding anyaman bambu dan beratapkan daun kelapa. Pekarangan milik kelurahan itu juga boleh digarap dan hasilnya dipersilakan untuk dinikmati keluarga Mangun Djojo. Demikian pula dengan 3 (tiga) batang pohon kelapa di lokasi tanah tersebut, buahnya juga dipersilakan untuk dikonsumsi.

Seberapa besar pengalaman hidup yang diperoleh Mangun Djojo dengan melakukan hijrah dalam proses kehidupannya? Yang pasti ajaran Islam menegaskan bahwa hijrah memiliki nilai pelajaran yang sangat tinggi dan bermakna sangat luas. Hijrah memiliki arti menyeluruh tentang berbagai aspek penting dalam kehidupan. Secara umum, beberapa hikmah penting dalam proses hijrah adalah sebagai berikut:

  1. Ketika terjadi proses hijrah para sahabat Nabi ke Habsyah (Ethiopia) dan ke Madinah, Allah SWT memberi makna bahwa kesucian dan kehormatan agama (akidah) berada di atas segala-galanya. Sesuatu hal yang bersifat "status quo" seperti asal-usul, ras, daerah, kedudukan, harta, jabatan, perhiasan maupun apapun yang sudah melenakan manusia, sesungguhnya tidak ada artinya jika agama dan dakwah serta syi’ar Islam dalam keadaan bahaya. Karena itu, Allah SWT mewajibkan hamba-Nya untuk berkorban, berjihad dan berhijrah demi pembelaan dan mempertahankan akidah dan agama;
  2. Umat Islam diajarkan selalu aktif dapat terus bergerak dinamis (harakah) dalam memberikan kontribusi untuk memuliakan kehidupan dunia dengan menyajikan segala hal yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia;
  3. Hijrah menjadi entry point menuju era baru di mana setiap manusia pasti akan memperoleh bekal pengalaman dan keterampilan baru di lingkungan yang baru. Situasi ini akan memperkaya keterampilan seseorang yang melakukan hijrah;
  4. Hijrah menciptakan rasa optimis di kalbu setiap Muslim yang menjadikan mereka senantiasa optimis bahwa Allah SWT pasti akan datang menolong umat-Nya jika memiliki kemauan keras di jalan kebenaran. Ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya (muhajirin) melakukan hijrah, tanpa diduga mereka mendapatkan dukungan dan bantuan dari masyarakat Madinah (Anshar);
  5. Hijrah dapat dijadikan sebagai momentum untuk segera keluar meninggalkan hawa nafsu. Hijrah tidak sebatas perpindahan dari satu tempat kepada tempat lain, namun bermakna luas yakni meningggalkan hawa nafsu dan kebiasaan buruk untuk digantikan nilai-nilai akhlak luhur dan mulia;

Ajaran inilah yang seharusnya dapat dipetik oleh para keturunan Mangun Djojo mengenai hikmah hijrah yang dilakukan para leluhurnya tersebut. Yang pasti, tekad hijrah Mangun Djojo dikisahkan sangat bulat. Bahkan ketika dijemput untuk kembali ke desa asalnya oleh utusan orang tuanya (yakni adik kandung dan pamannya), Mangun Djojo tetap memilih bertahan di tempat barunya sampai dirinya mencapai cita-cita yang diinginkan.

Kembali pada cerita pengembaraan Mangun Djojo. Dikisahkan kehidupan baru telah mulai dirintis di Gentasari. Selain menggarap lahan tidur dengan tanaman palawija, ia juga menjadi buruh tani yang ditemani 2 (dua) sahabat setia pengembaraannya. Sementara, sang istri menjadi buruh membatik yang dikerjakan di rumah.

Suatu ketika, kaki Mangun Djojo terpacul oleh mata cangkulnya sendiri. Peristiwa itu membuat dirinya kesakitan, dan hanya didengar oleh istrinya. Spontan sang istri menolong dan memapahnya untuk segera diobati dengan lamat, yakni sarang telur laba-laba yang berbentuk seperti kapas. Peristiwa itu terjadi sekitar 3 (tiga) bulan pada masa hijrahnya di Gentasari.

Sepekan berlalu, luka jempol kaki Mangun Djojo tidak kunjung sembuh dan justru semakin membengkak. Kondisi itu membuat keluarga, terutama anak sulungnya yang masih berusia 9 tahun menjadi sedih. Jika malam, Mangun Djojo tidak mampu memenjamkan mata karena lukanya terasa lebih pedih ketimbang siang hari.

Pada suatu pagi, sekitar pukul 10.00 mereka dikejutkan oleh kedatangan 2 orang tamu. Betapa terkejutnya Mangun Djojo, karena yang mengunjunginya adalah paman sepupunya sendiri, KH. R Abubakar beserta adik kandungnya, R. Ronosembodro. Kedatangan mereka memang sengaja diutus oleh ayahnya, Mangun Rekso untuk melihat kondisi Mangun Djojo di samping menjemputnya pulang, kembali ke Ketangi Daleman.

Tentu saja Mangun Djojo menolak ajakan pulang tersebut. Kepada penjemputnya ia berkata; "Tidak dimas, mboten paman, saya sudah bertekad meninggalkan kampung halaman karena wirang. Nanti bila Allah menghendaki bisa tercapai cita-cita saya, baru saya akan sowan ramanda di Ketangi. Kalau sekarang tidak mungkin, justru akan menambah beban bathin kami sekeluarga. Itulah dimas, paman, mohon maaf kami, dan sesampainya di Ketangi nanti haturkan sungkem kami sekeluarga kepada rama, ibu dan mohon jangan diceritakan keadaan kami yang sebenarnya."

Dan pesan kesengsaraan itu tampaknya memang tidak sampai ke telinga Mangun Rekso, sampai sekitar tiga tahun berselang Mangun Djojo berhasil menapaki kariernya sebagai Lurah Gentasari. Yang melantik secara resmi adalah Asisten Wedana Kroya atas nama Bupati Cilacap-Majenang. Sebagai Lurah Gentasari, Mangun Djojo berhak atas tanah bengkok seluas 50 bau yang terdiri tanah sawah nomor 1 seluas 40 bau dan tanah sawah telar seluas 10 bau.

Seperti itulah kilasan makna hijrah yang diteladani dan dibuktikan oleh Rasulullah SAW sebagai pilihan awal untuk memulai hidup baru pada waktu yang baru. Karena itu kepada seluruh umat-Nya diharapkan dapat memaknai pesan penting teladan Rasulullah SAW tersebut yang ternyata tetap terbukti kebenarannya lebih 1200 tahun kemudian. Dan sosok orang biasa yang membuktikan keampuhan makna hijrah itu bernama Mangun Djojo. Fitri Weningtyas & Gita Indrawanti