Setelah menjabat sebagai Bupati Purworejo yang dikukuhkan lewat Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda 22 Agustus 1831, Raden Adipati Aryo Cokronagoro I langsung membuat strategi pembangunan daerahnya. Kebijakan pertamanya adalah membangun masjid besar karena melihat mayoritas masyarakat sekitarnya Muslim.
Kebijakan itu tampak sekali meniru langkah Nabi Muhammad SAW. Ketika hijrah dan mendirikan Negara Madinah, Rasulullah langsung mendirikan Masjid Nabawi dan menjadikannya sebagai pusat kegiatan pemerintahan. Sebagai jantung Kota Madinah saat itu, Masjid Nabawi digunakan untuk kegiatan politik, perencanaan kota, menentukan strategi militer dan bahkan untuk mengadakan perjanjian kerja sama (lihat: ).
Masjid Agung Purworejo dibangun berlandaskan konsep masjid jami ala Rasulullah. Bangunan masjid raya itu berdiri megah di atas tanah seluas 8.825 meter persegi. Yang mengejutkan, tanah yang menjadi tempat berdirinya masjid itu milik RAA Cokronagoro I. Luas bangunan masjid terbagi dalam bangunan utama seluas 441 meter persegi. Terdapat pula bangunan sayap kiri-kanan seluas 126 meter persegi dan bangunan serambi seluas 525 meter persegi. Tiang utama (soko guru) dan tiang penyangga (soko rowo) masjid ini menggunakan kayu jati pendhowo. Tinggi soko guru-nya puluhan meter dengan diameter 200 sentimeter.
Desain Masjid Jami Purworejo atau Masjid Darul Muttaqin berlandaskan arsitektur Jawa, serupa dengan Masjid Agung Keraton Surakarta. Dari arsitekturnya, Darul Muttaqin sangat berkarakter Islam kuno dengan bentuk Tajug Lowahan Lambang Teplok (disebut dalam Serat Kalang, buku arsitektur Jawa). Perlengkapan lain seperti makara, mihrab, kalom, soko guru maupun soko rowo semakin memperkuat arsitektur masjid ini menjadi Jawa Islami.
Atap Darul Muttaqin bertumpang tiga. Atap pertama disebut panilih (mengandung makna syariah), atap kedua disebut penangkup (bermakna thoriqoh), sementara atap ketiga disebut brunjung (bermakna hakekat). Sedangkan mahkota masjid mengandung makna ma'rifat.
Batu-batuan yang digunakan untuk membuat umpak masjid diambil dari daerah Purworejo. Batu-batu berjenis yoni ini banyak digunakan sebagai bahan penyangga tiang utama (soko guru) yang memang berukuran luar biasa. Saat pengerjaan masjid, Cokronagoro kerap melakukan laku tirakat sesuai kebiasaan hidupnya. Tidak jarang ia tidur disekitar soko guru dalam rangka bertirakat membersihkan rohaninya.
Suatu malam ia bermimpi didatangi Rara Rengganis atau Nyai Bagelen. Wanita berparas cantik itu menjelaskan kalau dirinya berada di dalam batu-batu yang akan dijadikan umpak (soko guru) masjid. Akibat peristiwa itu, batu-batu yang dipercaya berisi sukma Nyai Bagelen langsung dikembalikan ke Desa Bagelen. Setelah dilakukan upacara pemakaman, batu tersebut ditanam di dekat sumur yang sekarang dikenal sebagai makam atau petilasan Nyai Bagelen.
Kondisi Masjid Darul Muttaqin saat ini masih terawat baik. Atap bangunan induk sudah menggunakan genteng cetak yang di atasnya diletakkan mustaka yang terbuat dari perunggu dengan hiasan daun kandhaka hutan. Di setiap bagian bawah atap tumpang terdapat panil kaca es yang berfungsi sebagai sumber cahaya. Atapnya ditopang oleh empat soko guru dan 12 soko rowo persegi yang dihubungkan dengan balok gantung rangkap.
Seluruh soko guru dicat hijau dan diberi hiasan geometris lis warna kuning yang terletak di atas yoni tanpa cat yang menjadi umpaknya. Keempat yoni itu mempunyai ukuran berbeda. Soko rowo terbuat dari batu bata dan bagian bawahnya kini dilapisi dengan keramik hijau. Di luar terdapat beberapa panil kayu, sementara di sebelah dalam diberi panil kaca. Plafon seng di atasnya ditempelkan dengan kuat pada kayu panjang yang tulang rusuk bangunan.
Di ruang paling depan masjid ditempatkan maqsura (mimbar tempat imam berkotbah) berbahan kayu yang posisinya berada di sebelah kanan mihrab (ruang kecil tempat imam memimpin sholat). Di sudut barat daya ruangan utama terdapat bangunan unik berbentuk empat persegi, terbuat dari kayu dan beratap mirop. Ruangan itu merupakan tempat khusus Cokronagoro ketika melakukan sholat Jumat.
Di sisi depan ruang masjid terdapat tiga buah pintu kupu tarung berpanil kayu dan kaca. Di atas pintu terdapat inskripsi Belanda, Jawa dan Arab yang menyebutkan tahun 1762 H (1834 M). Di sebelah utara dan selatan masjid terdapat bangunan tempat wudhu dan kolam. Di sebelah utara menjadi tempat wudhu kaum pria, sementara kaum wanita terletak di sebelah selatan.
Di dalam masjid ditempatkan beduk raksasa yang disebut Beduk Kiai Pendhowo. Beduk ini dibuat dari pangkal batang pohon jati pendhowo yang tumbuh di Dukuh Pendhowo, Desa Brogolan (sekarang masuk wilayah Kecamatan Purwodadi), kira-kira berjarak 9 kilometer dari arah selatan kota Purworejo.
Sebagai keturunan Desa Bragolan, Cokronagoro mengetahui dengan pasti bahwa di desa tempat kelahiran ayahnya (Raden Ngabei Singawijaya) itu terdapat pohon jati raksasa yang telah berusia ratusan tahun. Pangkal batang pohon jati pendhowo yang berketinggian puluhan meter ini memiliki garis tengah lebih dua meter.
Proses pembuatan beduk raksasa ini membutuhkan waktu 7 bulan yang dibuat pada tahun 1834. Sepanjang 3 bulan pertama, setelah batang kayu dikupas, bagian dalam pangkal kayu dibakar dengan arang kayu asam. Kehati-hatian yang tinggi sangat diperlukan dalam proses pembakaran karena jika tidak seluruh batang kayu itu akan habis terbakar. Penggunaan arang kayu asam ini juga merupakan metode khusus karena hanya arang tersebut yang mampu menembus batang kayu jati tua.
Setelah berlubang, batang kayu ditatah untuk dirapikan. Pengerjaan ini membutuhkan waktu selama dua bulan. Pada dua bulan berikutnya, pengerjaan merapikan beduk dilakukan sampai benar-benar sempurna. Seluruh proses pengerjaan beduk tersebut diawasi langsung Wedono Jenar, adik bungsu Cokronagoro, yakni RNg Prawironagoro.
Setelah selesai, Beduk Pendhowo yang memiliki panjang 292 sentimeter, diameter depan 194 sentimeter dan diameter belakang 180 sentimeter memiliki masalah baru. Ukuran yang besar membuatnya sulit untuk ditempatkan di masjid raya. Karena itu Cokronagoro segera membuat sayembara. Isinya akan memberikan hadiah kepada siapa pun yang mampu menempatkan Beduk Kiai Pendhowo sampai ke dalam Masjid Agung.
Syahdan hanya Kiai Irsyad dari Desa Solotiang, Loano yang menyatakan kesanggupannya. Sepanjang 9 kilometer perjalanan ia mendirikan 20 pos peristirahatan yang ditempatkan pada setiap jarak 500 meter. Di setiap pos peristirahatan, Kiai Irsyad menyiapkan seperangkat gamelan, sehingga setiap sampai di pos, para pekerja pengangkat beduk langsung dijamu dengan meriah.
Perjalanan mengangkut Beduk Pendhowo memakan waktu 21 hari. Cara mengangkat dan menarik beduk dari tempat pembuatan sampai ke Masjid Agung Purworejo dilakukan dengan menggunakan selendang. Di atas beduk dinaiki seorang penari wanita atau teledhek. Selain tari tayub, jamuan yang diberikan para pekerja pengangkut beduk sampai di setiap pos adalah minuman tuak.
Saat dibuat, kulit beduk menggunakan kulit banteng dari Desa Sucen yang dibawa oleh Glondhong Sucen, Jayeng Kewuh. Supaya tetap awet, kini beduk itu hanya diijinkan untuk ditabuh pada setiap Jumat. Sampai kini Beduk Pendhowo tetap merupakan beduk terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Jika diameternya menjadi kalah besar 8 sentimeter dengan beduk Masjid Istiqlal (Jakarta) namun Beduk Pendhowo dibuat dari batang kayu jati utuh. Sedangkan beduk Masjid Istiqlal yang memiliki garis tengah 2 meter itu dibuat dari kayu sambungan.
Kini sangat jelas, semangat dan kiprah Cokronagoro yang mengutamakan pendirian masjid di masa kepemimpinannya, menunjukkan bahwa ia sangat ingin memuliakan Islam. Sebagai refleksi rumah Allah SWT yang kemudian menjadi sarana ibadah dan sosial umat Islam, sebagai Muslim sejati ia bertekad akan memuliakan sang Maha Agung dengan membuat masjid (dan beduk) yang agung (besar) pula. Catatan sejarah ini menyimpulkan bahwa di dalam hati dan sanubari Cokronagoro, sesungguhnya terpatri jiwa dan semangat sebagai seorang sunan, kiai atau ulama besar.
Bersamaan dengan pembangunan Masjid Agung Purworejo, dibangun pula alun-alun di atas lahan seluas 6 hektar. Pada tahun 1831, di tengah alun-alun ditanam dua batang pohon beringin yang bibitnya berasal dari Keraton Yogyakarta. Setelah itu, di sebelah selatan alun-alun, didirikan Kantor Residen Bagelen. Akses jalan di seputar alun-alun juga dibangun untuk menghubungkan pendopo kabupaten, kantor karesidenan Bagelen dan Masjid Agung. Sambil menata bangunan yang menjadi pusat pemerintahan di alun-alun kota, Cokronagoro membangun akses jalan di dalam kota Purworejo termasuk perbaikan jalan sampai ke Kedhung Kebo.
Alun-alun Purworejo merupakan tempat terbuka kabupaten yang terluas dan terlama di Jawa Tengah. Keberadaan alun-alun itu merupakan simbol otrokasi Jawa Kuno yang selalu berdiri berhadapan dengan keraton, rumah tinggal adipati atau bupati. Alun-alun diyakini sebagai simbol kejayaan sebuah negara, sebuah kerajaan, sebuah kadipaten atau sebuah kabupaten.
Demikian berat pekerjaan yang diemban RAA Cokronagoro I mengingat sebagai Bupati Purworejo pertama ia harus menciptakan daerah baru menjadi sebuah pusat pemerintahan. Namun demikian, prioritas utama kebijakan pembangunannya lebih mengutamakan pendirian masjid sebagai sentral kegiatan pemerintahan.
Juga dalam membangun tempat kediaman. Pada saat proses pembangunan Masjid Darul Muttaqin berlangsung, Cokronagoro masih rela bertempat tinggal di rumah pendopo lama. Rumah itu adalah rumah Ketemenggungan Tanggung (Brengkelan) yang terletak di sebelah timur sungai Bogowonto. Pembangunan rumah pendopo kabupaten baru terlaksana setelah kegiatan pembangunan Masjid Raya Purworejo selesai. Itupun dengan menggunakan sisa-sisa kayu (balok) yang banyak tertumpuk. Karena itu, bangunan pendopo baru di sebelah utara alun-alun Purworejo mulai dibangun pada 1840.
Di dalam pendopo kabupaten terdapat bangunan induk yang menjadi rumah dinas atau tempat tinggal bupati. Bangunan ini dihubungkan dengan selasar dan atap pelananya ditutup dengan genteng yang ditopang oleh empat buah kolom kayu persegi. Bangunan induk ini berbentuk persegi empat dengan atap limasan majemuk.
Arah bangunan induk yang dibatasi dinding semen ini bertujuan filosofis yang sangat dalam. Arah utara-selatan berarti posisi bangunan yang menghadap ke selatan tidak membelakangi Nyi Roro Kidul. Sebagai penguasa Laut Selatan, Laut Kidul dipercaya suku jawa sebagai tempat kediaman Nyai Roro Kidul. Posisi ini juga bermakna luas, agar tidak membelakangi posisi Keraton Surakarta yang berada di sebelah timur.
Meski pembangunan sedang giat berlangsung, Cokronagoro masih bersemangat menambah proyek pembangunan saluran irigasi dari aliran Sungai Bogowonto. Niat itu muncul karena melihat petani di daerahnya sangat kesulitan air. Saluran air dari Geger Menjangan sampai Purworejo itu dikenal sebagai Kedhung Putri dan mampu mengairi sawah seluas 3.800 hektar.
Semula ide pembangunan saluran irigasi sempat disampaikan kepada Residen Bagelen, JWH Smissaert. Tapi Residen Bagelen menyarankan jika saluran irigasi sudah terbangun, hendaknya pajak sawah dinaikkan dan para petani diwajibkan menanam kopi. JWH Smissaert juga menyarankan agar proyek pembangunan irigasi tersebut jangan dipaksakan.
Setelah merasa memperoleh restu residen, Cokronagoro memerintahkan para priyayi untuk menggali tanah sepanjang tepi gunung dari Desa Panungkulan sampai ke Gunung Geger Menjangan dan langsung masuk Purworejo. Perintah itu sangat didukung semua priyayi dan mulai dikerjakan pada 3 Mei 1831 yang pelaksanaannya diserahkan kepada empat Wedono secara padat karya.
Setiap hari dikerahkan 5.000 tenaga kerja dengan upah setiap orang sebesar satu kati (setara dengan 6,25 ons). Walaupun proyek saluran irigasi itu dikerjakan oleh ribuan pekerja, pengerjaannya tetap memakan waktu satu tahun. Namun untuk membuat air sampai bisa mengalir ke Purworejo tetap diperlukan tambahan waktu sampai satu setengah tahun.
Pada sisi kiri dan kanan saluran irigasi dibangun tanggul selebar 2 meter. Tanggul yang ditanami rumput itu dibuat untuk menahan luapan banjir. Pada setiap dua kilometer dibuat bendungan pembagi air, sehingga sawah yang dilewati aliran irigasi bisa mendapat jatah air dengan baik.
Sebagai pengawas irigasi ditempatkan Jagatirta yang bertugas mengawasi aliran air dan membagi aliran air di setiap bendungan agar merata. Sementara untuk merawat tanggul diserahkan kepada Kuli Anjir. Jagatirta dan Kuli Anjir menerima jatah sawah garapan (tanah bengkok atau siti lenggah) langsung dari Bupati.
Setelah menyelesaikan mega proyek pembangunan masjid raya, alun-alun, pendopo kabupaten dan saluran irigasi, Cokronagoro melanjutkan kebijakan pembangunan di bidang infrastruktur jalan raya. Pembangunan jalan Purworejo-Magelang sepanjang 40 kilometer yang dimulai tahun 1845 mampu diselesaikan sampai tahun 1850.
Semula jalan Purworejo-Magelang yang akan dibangun melintasi Kaligesing dan Borobudur lalu baru masuk ke Magelang. Pilihan lintasan sebelah timur Sungai Bogowonto itu dibuat karena terlihat jauh lebih hidup ketimbang melalui arah utara melewati lintasan Geger Menjangan.
Namun lintasan Kaligesing-Borobudur membutuhkan sebuah jembatan karena harus melompati Sungai Bogowonto. Ditambah situasi di kawasan Borobudur banyak memiliki jurang terjal dan tanjakan, membuat pilihan jalur di lintasan ini perlu dikaji ulang.
Namun jalur Geger Menjangan juga banyak memiliki masalah. Kawasan bukit yang mendaki tajam, sementara sarana transportasi saat itu hanya berupa dokar atau pedati, dikhawatirkan justru menjadi lebih sulit untuk diakses. Namun lintasan Kaligesing-Borobudur masih menyimpan misteri yang mendalam. Sisa-sisa pasukan Diponegoro yang masih dendam kepada Belanda, diperkirakan akan menjadi pengacau yang mengganggu keamanan lintasan itu. Karena itu, lintasan Geger Menjangan menjadi pilihan terakhir Cokronagoro meski dengan berat hati.
Sebagai peringatan proyek pembangunan jalan raya Purworejo-Magelang didirikan sebuah tugu di Desa Bener Krajan, Kecamatan Bener, Purworejo. Tugu yang berdiri di atas tanah seluas 36 meter persegi itu berbentuk oblish persegi, yakni tubuh tugu mengerucut dengan bagian atas lebih mengecil.
Dengan konsep dan kebijakan pembangunan yang luar biasa itu, jelas saja wilayah Purworejo menjadi maju, subur dan makmur. Hanya perlu waktu pemerintahan 9 tahun, Cokronagoro telah menciptakan wilayah pemerintahannya menjadi daerah yang sangat berbeda dengan wilayah lain. Hasil bumi yang melimpah dan harganya jauh lebih murah membuat kehidupan rakyat Purworejo terlihat makmur.
Pada masa itu, Cokronagoro menerima penghargaan dari mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch berupa bedil pengantin yang dikirim langsung dari negeri Belanda. Bahkan dari cucu Ratu Belanda, Cokronagoro juga menerima hadiah berupa pistol sebagai simbol rasa sayang kerajaan Belanda karena keberhasilan kinerja pemerintahannya dalam memakmurkan rakyat.
Sebagai bukti kesuksesan kepemimpinannya, Pemerintah Hindia Belanda berjanji akan mendudukkan keturunan Cokronagoro sebagai Bupati Purworejo sampai tujuh turunan. Namun janji itu hanya dibuktikan hingga ke derajat keturunan yang keempat. RAA Cokronagoro IV dianggap terlalu berani dengan pemerintah kolonial, bahkan sampai mengawini wanita Eropa.
Sejak RAA Cokronagoro IV diberhentikan dengan hormat pada tahun 1921, Belanda menutup kesempatan tiga derajat turunan Cokronagoro berikutnya sebagai Bupati Purworejo. Turunan Cokronagoro yang sempat menjadi bupati hanyalah:
- Periode 1856-1896: RAA Cokronagoro II (putera kedua Cokronagoro);
- Periode 1896-1907: RAA Cokronagoro III (cucu Cokronagoro);
- Periode 1907-1919: RAA Cokronagoro IV (buyut Cokronagoro). FitriWeningtyas&GitaIndrawanti
Cetak