Pagi itu RAA Cokronagoro I sedang melakukan senam di halaman depan rumah. Cuaca pagi yang sejuk dan cerah di tengah kota Purworejo telah membangkitkan semangat olah raga pagi-nya yang memang kerap dilakukan secara rutin. Ketika menoleh ke arah pintu pagar, ia tampak agak kaget. Ia segera bergegas untuk menyambut kedatangan dua orang tamu yang memang sudah dikenalnya dengan baik.
Orang yang datang di pagi itu adalah Mangun Rekso yakni ayahanda Mangun Djojo. Dengan mengendarai delman, ia sengaja sowan ke kediaman Bupati Purworejo pertama, RAA Cokronagoro I dengan ditemani adik sepupunya, yakni KH. R. Abubakar yang tak lain adalah putera R Trunomenggolo.
Tampak Cokronagoro menyapa kedua tamunya; "Katuran sugeng rawuh kangmas, kok njanur gunung rawuhipun. Menapa wonten ingkang wigati?" (Selamat datang kangmas, tidak seperti biasanya. Apa ada hal yang penting?) sambil mempersilakan keduanya duduk di kursi ruang pendapa berukiran Jepara.
Mangun Rekso yang memang masih berkerabat dengan Cokronagoro, langsung menceritakan permasalahan yang sedang menimpa puteranya, yakni Mangun Djojo. Sejatinya, Cokronagoro telah mendengar soal Pilkades (pemilihan kepala desa) yang diselenggarakan di Desa Ketangi Daleman dari bawahannya, Asisten Wedana Bagelen. Dan Cokronagoro juga sudah mengetahui bahwa putera Mangun Rekso hanya kalah tipis dari pesaingnya.
Namun masalah yang diutarakan Mangun Rekso bukan persoalan menang-kalah. Baginya, kekalahan Mangun Djojo adalah takdir Allah SWT, dan kepada pemenangnya harus dihormati dan dijunjung tinggi kepemimpinannya. Yang diperbincangkan ke Cokronagoro adalah soal pasca-Pilkades yang membuat Mangun Djojo, sang puteranya menjadi gundah-gulana.
Konon setelah kalah tipis dalam Pilkades Desa Ketangi Daleman, Mangun Djojo merasa malu berat (Jawa: wirang). Ia memutuskan akan pergi bersama keluarganya, hijrah meninggalkan kampung halamannya. Kala itu, Mangun Djojo diperkirakan berusia 35 tahun, sudah memiliki istri dengan dua orang anak.
Cokronagoro memaklumi segala hal yang menimpa Mangun Rekso. Ia juga mengerti perasaan pergolakan batin yang sedang dialami oleh Mangun Djojo (karena ia pun pernah mengalami hal serupa sehingga terpaksa melakukan tirakat ngluwat). Di hatinya, ia juga mengakui kejujuran Mangun Rekso dan Mangun Djojo yang pada saat sebelum Pilkades tidak melibatkan dirinya sebagai Bupati Purworejo yang bisa dijadikan alat pemenangannya dalam Pilkades.
Setelah mempersilakan kedua tamunya menikmati sajian kopi dan penganan lemper yang tersaji di meja, Cokronagoro mohon pamit sejenak. Ia pergi ke ruang kerja untuk menulis sepucuk surat yang setelah selesai ditandatangani kemudian dilipat dengan rapi. Surat itu ditujukan kepada Bupati Cilacap-Majenang.
Kepada Mangun Rekso dan KH. R Abubakar, Cokronagoro berpesan agar surat itu disampaikan langsung melalui staf Bupati Cilacap. Setelah menerima surat tersebut, kedua tamu itu mohon pamit. Cokronagoro mengantar kedua tamu kehormatannya sampai ke tangga pendopo rumah dinasnya.
Sekitar pukul 09.30, delman yang membawa Mangun Rekso dan KH. R. Abu Bakar sampai di pintu halaman rumah. Keduanya langsung turun dan menuju ke ruang tengah. Setelah memangil Mangun Djojo, mereka menjelaskan amanat dari Cokronagoro secara rinci. Mendengar kisah itu, Mangun Djojo memutuskan untuk berangkat hijrah pada pekan depan, setelah bersilaturahmi dan mohon doa restu dengan para pini sepuh di desanya. Fitri Weningtyas & Gita Indrawanti
Tampak Cokronagoro menyapa kedua tamunya; "Katuran sugeng rawuh kangmas, kok njanur gunung rawuhipun. Menapa wonten ingkang wigati?" (Selamat datang kangmas, tidak seperti biasanya. Apa ada hal yang penting?) sambil mempersilakan keduanya duduk di kursi ruang pendapa berukiran Jepara.
Mangun Rekso yang memang masih berkerabat dengan Cokronagoro, langsung menceritakan permasalahan yang sedang menimpa puteranya, yakni Mangun Djojo. Sejatinya, Cokronagoro telah mendengar soal Pilkades (pemilihan kepala desa) yang diselenggarakan di Desa Ketangi Daleman dari bawahannya, Asisten Wedana Bagelen. Dan Cokronagoro juga sudah mengetahui bahwa putera Mangun Rekso hanya kalah tipis dari pesaingnya.
Namun masalah yang diutarakan Mangun Rekso bukan persoalan menang-kalah. Baginya, kekalahan Mangun Djojo adalah takdir Allah SWT, dan kepada pemenangnya harus dihormati dan dijunjung tinggi kepemimpinannya. Yang diperbincangkan ke Cokronagoro adalah soal pasca-Pilkades yang membuat Mangun Djojo, sang puteranya menjadi gundah-gulana.
Konon setelah kalah tipis dalam Pilkades Desa Ketangi Daleman, Mangun Djojo merasa malu berat (Jawa: wirang). Ia memutuskan akan pergi bersama keluarganya, hijrah meninggalkan kampung halamannya. Kala itu, Mangun Djojo diperkirakan berusia 35 tahun, sudah memiliki istri dengan dua orang anak.
Cokronagoro memaklumi segala hal yang menimpa Mangun Rekso. Ia juga mengerti perasaan pergolakan batin yang sedang dialami oleh Mangun Djojo (karena ia pun pernah mengalami hal serupa sehingga terpaksa melakukan tirakat ngluwat). Di hatinya, ia juga mengakui kejujuran Mangun Rekso dan Mangun Djojo yang pada saat sebelum Pilkades tidak melibatkan dirinya sebagai Bupati Purworejo yang bisa dijadikan alat pemenangannya dalam Pilkades.
Setelah mempersilakan kedua tamunya menikmati sajian kopi dan penganan lemper yang tersaji di meja, Cokronagoro mohon pamit sejenak. Ia pergi ke ruang kerja untuk menulis sepucuk surat yang setelah selesai ditandatangani kemudian dilipat dengan rapi. Surat itu ditujukan kepada Bupati Cilacap-Majenang.
Kepada Mangun Rekso dan KH. R Abubakar, Cokronagoro berpesan agar surat itu disampaikan langsung melalui staf Bupati Cilacap. Setelah menerima surat tersebut, kedua tamu itu mohon pamit. Cokronagoro mengantar kedua tamu kehormatannya sampai ke tangga pendopo rumah dinasnya.
Sekitar pukul 09.30, delman yang membawa Mangun Rekso dan KH. R. Abu Bakar sampai di pintu halaman rumah. Keduanya langsung turun dan menuju ke ruang tengah. Setelah memangil Mangun Djojo, mereka menjelaskan amanat dari Cokronagoro secara rinci. Mendengar kisah itu, Mangun Djojo memutuskan untuk berangkat hijrah pada pekan depan, setelah bersilaturahmi dan mohon doa restu dengan para pini sepuh di desanya. Fitri Weningtyas & Gita Indrawanti