PROFIL COKRONAGORO

RADEN ADIPATI ARYO COKRONAGORO I berpendidikan cukup baik. Meski tidak diketahui jenis dan jenjang pendidikannya, namun dari sikap dan pandangan hidup serta karya-karya besar yang ditorehnya, ia pasti memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Tengok saja hasil karya seni, bangunan, sarana dan prasarana pemerintah serta agama yang didirikan pada masa itu. Dari hasil karya monumental itu, merefleksikan si penggagasnya memiliki intelektualitas sangat tinggi. Termasuk ketika menjabat sebagai Bupati, RAA Cokronagoro I sangat terampil menangani semua persoalan rakyat yang dipimpinnya.

Menurut Ngabei Cokrolegowo, Ngabei Wongsowijoyo dan Ngabei Sastrowongso, postur Cokronagoro cukup baik (dalam istilah Jawa disebut pideksa). Kulitnya kuning langsat, berhidung besar dan berkelopak mata lebar (dalam istilah Jawa disebut mbalalak) serta memiliki raut wajah yang lebar.

Sewaktu muda, Cokronagoro digandrungi kaum wanita. Meski gaya bicaranya agak kasar (dalam istilah Jawa dikatakan srowolan), namun di mata bawahannya ia sosok berwibawa dan sangat dihormati. Dari perilaku sehari-hari, ia dikenal sebagai sosok yang cermat, tekun dan setia pada janji. Karena itu, beliau sangat dicintai dan disegani para bawahan, kerabat maupun pimpinannya.

Cokronagoro memiliki filosofi hidup yang tinggi, sehingga bertekad harus selalu bisa memberi kehidupan kepada siapa pun. Hal tersebut dibuktikan ketika menjabat bupati. Jabatan yang dijadikan amanah itu menjadi kesempatan untuk memperbiki nasib rakyat yang dipimpinnya. Hanya dalam tempo 9 tahun kepemimpinannya, Purworejo terkenal sebagai daerah yang subur dan makmur sampai ke negeri Belanda. Sewaktu cucu Ratu Belanda melakukan kunjungan keliling ke semua daerah, dilihatnya Kabupaten Purworejo jauh lebih berbeda. Hasil bumi yang melimpah dan berharga murah, membuat mutu kehidupan rakyat Purworejo menjadi aman,tenteram dan damai.

Pemandangan itu membuat cucu Ratu Belanda terkesima. Ia menjadi begitu sayang dengan Cokronagoro. Cucu Ratu itu lalu memberikan pistol kepada Cokronagoro. Penyerahan tanda mata itu dilakukan oleh Residen Bagelen dalam sebuah upacara resmi di Kabupaten Purworejo pada tahun 1840. Di tengah kinerja pemerintahan yang gemilang, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan RAA Cokronagoro I sebagai bupati seumur hidup dan tujuh turunannya dijanjikan akan menjabat sebagai bupati.

Kegemaran Cokronagoro terhadap peralatan perang juga sangat tinggi. Ia sangat senang mengoleksi tombak, keris, perisai, canang, meriam, senapan (bedil) maupun pistol. Jika tertarik dengan sebuah alat perang, Cokronagoro langsung bersedia menebusnya dengan harga tinggi. Selain itu, kegemaran lainnya adalah mengoleksi alat-alat kesenian.

Cokronagoro merupakan sosok priayi, abdi dalem, prajurit dan seniman yang sangat kompeten. Sebagai priayi, ia memulai kariernya sebagai tenaga magang di Kasunanan Surakarta dan kemudian menjadi Mantri Gladhag dan akhirnya diangkat sebagai Penewu Gladhag.

Sebagai abdi dalem, kesetiaan Cokronagoro dibuktikan dengan mentaati setiap pekerjaan yang diperintahkan Junjungannya, Susuhunan Paku Buwono VI. Termasuk pula ketika diperintahkan menjadi prajurit untuk bertempur ke medan laga, ia dengan taat menjalaninya dengan segenap jiwa dan raga.

Ketika ditugaskan turun ke medan laga bergabung dengan pasukan Surakarta, ia menganggap sebagai sebuah titah yang harus ditaati. Sebagai prajurit ia tidak bisa menyanggah perintah komandan meski harus bertempur melawan (pasukan) Diponegoro yang tak lain adalah "adiknya" sendiri. Sebagai abdi dalem setia, setiap perintah raja (yang menjadi junjungannya) harus dituruti dan tidak boleh ditolak menuruti kemauannya sendiri. Apalagi perintah itu merupakan tugas dan amanat untuk membela kedaulatan wilayah negara tumpah darahnya. Negara yang dimaksud adalah Negara Surakarta Hadiningrat (Keraton Surakarta) dengan rajanya, Susuhunan Paku Buwono.

Sebagai seorang seniman, karya seni Cokronagoro juga cukup ternama bahkan sempat melegenda. Misalnya Serat Babad Kedhung Kebo yang diciptakan sendiri pada tahun 1831. Serat Babad setebal 700 halaman itu dituangkan dalam bentuk kidung dengan menggunakan bahasa kawi yang sangat indah. Karya seni ini menunjukkan bahwa Cokronagoro adalah juga seorang seniman besar.

Dalam kidung yang pernah dijadikan tesis oleh sarjana Belanda, Pieter Carrie terdapat lagu Mijil yang pada salah satu baitnya menyebut Pangeran Diponegoro dengan sebutan adinda (yayi). Sebutan ini menandakan kedekatan hubungannya sebagai kakak dengan sang Pahlawan Gua Selarong itu. Sebutan adik bisa karena silsilah keturunan atau bisa pula karena pernah bersama-sama menuntut ilmu pada sebuah perguruan yang sama.

Selain priayi, abdi dalem, prajurit dan seniman, pribadi Cokronagoro juga menjelma sebagai sosok ulama (kiai) besar. Panggilan jiwa untuk memuliakan Islam terlihat ketika menjabat sebagai Bupati. Seketika ia langsung mendirikan bangunan masjid yang bernama Masjid Agung Purworejo. Kebesaran masjid beserta beduknya merefleksikan ia ingin selalu memuliakan keagungan (kebesaran) Allah SWT.
Dalam hal kesetiaan, Cokronagoro termasuk pribadi yang tak tertandingi. Setia pada janji, setia pada negara, setia pada pertemanan, setia pada persaudaraan dan setia kepada raja mungkin telah merasuk di dalam sanubari kehidupannya. Kesetiaan kepada Pangeran Kusumoyudo (paman Susuhunan Paku Buwono VI) terus dipupuk meski ketika dalam peperangan Diponegoro, ia lebih sering mewakili berlaga ke medan tempur.

Kesetiaan kepada orang tua dibuktikan ketika akan melaksanakan tirakat ngluwat, ia memilih pulang ke Ngasinan untuk mohon doa restu sang bunda. Sesudah menjadi Bupati Purworejo, kesetiaan itu juga ditunjukkan kepada orang-orang yang pernah berjasa dalam hidupnya. Kepada RNg. Prawironegoro, adik bungsu yang selalu mendampingi, diangkatnya sebagai Wedono di Jenar. Kepada abdi setianya, yakni Jayeng Kewuh, diangkatnya juga menjadi Glondhong seumur hidup di Desa Sucen. FitriWeningtyas&GitaIndrawanti

print this page Cetak