KISAH MANGUN DJOJO

Kisah ini dimulai dari Desa Ketangi Daleman, Bagelen, Purworejo. Sekitar penghujung abad ke-18, pada saat itu akan dilangsungkan pemilihan kepala desa (Pilkades). Terdapat sosok pemuda kelahiran desa setempat yang baru berusia sekitar 35 tahun, sudah berkeluarga dengan dikaruniai 2 (dua) orang anak yang sulung berusia 9 (sembilan) tahun dan adiknya berusia 6 (enam) tahun. Pemuda gagah itu bernama Mangun Dojo. Ia tampak begitu antusias ingin menjadi Kades melalui acara Pilkades tersebut.

Kemudian Mangun Djojo menghadap sang ayah, Mangun Rekso untuk mengutarakan keinginannya sekaligus mohon doa restu untuk mengikuti Pilkades. Agak terkejut memang wajah Mangun Rekso melihat tekad anak sulungnya. Dengan terbata-bata ia berkata kepada buah hatinya; "Wah, iki sing diarani anak polah bapa kepradah," (Wah, ini yang dinamakan keinginan anak untuk berbuat sesuatu namun ayah juga harus turut memikul tanggung jawab).

Mangun Rekso masih melanjutkan ucapannya sambil memegang pundak Mangun Djojo; "Angger anakku, tekadmu sudah mantap. Apa, wis manteb tenan gegayuanmu kuwi. Antara cipta, rasa lan karsamu wis manunggal?" Mendapat sejumlah pertanyaan itu, Mangun Djojo langsung menukas; "Inggih sampun rama, insya Allah."

Setelah itu, Mangun Rekso berupaya sekuat tenaga mendukung niat puteranya dengan segala daya. Ia segera menjual seperangkat gamelan dan wayang miliknya seharga f.350 yang pada masa itu berada di bawah harga pasaran. Tidak hanya itu, ia juga berdoa siang-malam agar Allah SWT mengabulkan keinginan puteranya.

Sampailah pada acara Pilkada berlangsung. Terdapat empat bakal calon Kades yang telah memenuhi syarat pemilihan. Mereka didudukkan segaris dengan jarak tiga depa secara berdampingan di muka arena pemilihan. Seluruhnya berpakaian adat lengkap dengan baju kebesarannya masing-masing. Namun pada saat penghitungan suara, Allah SWT berkehendak lain. Mangun Djojo hanya kalah tipis dengan calon Kades terpilih, yakni hanya berbeda dua suara.

Waktu pun terus berjalan. Dua bulan pasca-Pilkades, rasa murung dan malu masih menyelimuti sanubari Mangun Djojo. Walaupun setiap selesai sholat ia selalu memanjatkan doa agar diberi kekuatan, namun kekalahan tipis dalam Pilkades itu belum dapat dimengerti oleh jiwa mudanya yang masih bergejolak. Meski sepekan setelah Pilkades, sang pemenang menimangnya untuk menjadi Carik Ketangi Daleman, namun tanpa disangka ia menolak tawaran itu dengan halus.

Suatu malam setelah usai sholat Isya, tiga bulan pasca-Pilkades, Mangun Djojo terlibat percakapan serius dengan sang ayah, Mangun Rekso yang sedang duduk di lincak bambu, serambi depan rumah mereka. "Ramanda, terima kasih nanda ucapkan untuk semua pitutur dan nasehat yang nanda terima. Namun ada sesuatu yang akan nanda sampaikan, sebelumnya nanda mohon maaf bila nanti tidak berkenan," ujar Mangun Djojo.

"Lho, opo meneh to ngger?" tanya Mangun Rekso yang melihat wajah puteranya masih diliputi rasa murung. "Ramanda, setelah nanda pertimbangkan dan sudah saya bicarakan dengan istri, sekali lagi ananda mohon maaf. Izinkan kami sekeluarga pergi untuk mencari pengalaman hidup ke negeri orang, entah ke mana kami belum tahu," tukas Mangun Djojo lebih lanjut.

Mangun Rekso langsung terkesiap sejenak mendengar tekad puteranya. Kaget sekali hatinya karena sang putera sulungnya telah memutuskan untuk hijrah dalam kehidupannya. Sorot matanya terpaku ke depan sambil berfikir betapa berat beban bathin yang sedang mendera puteranya. Setelah itu ia berkata; "Engger, anakku Mangun Djojo, sesungguhnya ramamu berat berpisah dengan anak-cucu. Namun bila jalan yang akan kau tempuh akan membuatmu lebih baik, rama tidak akan menghalangi. Besok pagi rama akan ke kota Purworejo. Insya Allah ada jalan yang baik untukmu sekeluarga."

Keesokan pagi, dengan ditemani adik sepupunya, KH. R. Abubakar, Mangun Rekso menemui Bupati RAA Cokronagoro I. Di hadapan Bupati Purworejo pertama itu, ia mengutarakan tentang permasalahan yang sedang dihadapi anaknya sehingga bertekad untuk melakukan hijrah. Konon karena mereka memang masih berkerabat, Cokronagoro langsung menuliskan surat agar dapat diantar langsung oleh Mangun Djojo kepada Bupati Cilacap-Majenang.

Sepekan setelah menerima "surat sakti" tersebut Mangun Djojo beserta istri dan kedua anaknya dan disertai dua orang sahabat setianya berangkat melakukan hijrah. Hampir 3 pekan kisah pengembaraan mereka lakukan hingga sampai ke wilayah Kabupaten Cilacap-Majenang-Tirtakencana. Berbekal "surat sakti" itu, rombongan mendapat sambutan dan layanan luar biasa dari Bupati Cilacap-Majenang, Asisten Wedana Kroya dan sampai Lurah Desa Gentasari. Dan di desa itulah rombongan mendapatkan fasilitas rumah sederhana beserta lahan secukupnya untuk dipakai menjalani aktivitas baru dalam kehidupan mereka yang baru pula.

Alkisah tiga bulan dalam masa merintis kehidupan baru, Mangun Djojo mengalami kecelakaan. Jempol kakinya tergores oleh mata paculnya sendiri. Di Gentasari, ia memang menjadi petani palawija serta bekerja serabutan sebagai buruh sawah bersama dua sahabat pengiringnya. Hanya istrinya yang melihat kecelakaan itu sehingga langsung diobati oleh telur sarang laba-labat yang menyerupai kapas.

Sepekan setelah kecelakaan terjadi, jempol kaki Mangun Djojo tidak kunjung sembuh. Sampai pada suatu ketika pada pukul 10.00 waktu setempat, ia kedatangan dua orang tamu yang diantar oleh Carik Gentasari. Tamu yang datang ternyata paman sepupunya, KH. R. Abubakar beserta adiknya R. Ronosembodro beserta para sahabat pengiringnya. Kedatangan mereka selain untuk melihat kondisi Mangun Djojo juga untuk membawa amanat sang ayah, Mangun Rekso.

Dikisahkan Mangun Rekso berharap agar Mangun Djojo dapat pulang ke desa kelahirannya. Hal itu seperti diucapkan KH. R Abubakar; "Nakmas, aku berdua bersama rayimu Ronosembodro diutus oleh Kangmas Mangun Rekso ramandamu, untuk mengetahui keadaan sliramu sekeluarga. Ramanda pesan, sliramu sekeluarga supaya pulang kembali ke Ketangi. Lebih-lebih setelah aku tahu keadaanmu seperti ini. Mari ananda pulang bersama kami." Tak hanya itu, sang adik, R Ronosembodro juga berupaya membujuk sang kakak dengan menimpali; "Inggih kangmas, mangga kula dereaken kondur dateng ke Ketangi. Rama seru banget menanti kepulangan kangmas sekeluarga."

Namun Mangun Djojo ternyata telah memiliki cita-cita lain. Semangat hijrahnya baru akan selesai jika keinginannya baru dapat tercapai. Kemudian ia pun menimpali ajakan tersebut dengan suara tersendat; "Tidak dimas, mboten paman, saya sudah bertekad meninggalkan kampung halaman karena
wirang berat. Nanti bila Allah menghendaki bisa tercapai cita-cita saya, baru saya akan sowan ramanda di Ketangi. Kalau sekarang tidak mungkin, justru akan menambah beban bathin kami sekeluarga. Itulah dimas, paman, mohon maaf kami. Dan sesampainya di Ketangi nanti haturkan sungkem kami sekeluarga kepada rama dan ibu. Mohon jangan diceritakan keadaan kami yang sebenarnya."

KH. R. Abubakar segera tanggap dengan situasi tersebut. Ia memegang pundak Mangun Djojo sambil berkata; "Baiklah nakmas, paman mengerti dan maklum semuanya. Sebelum kami berdua kembali ke Ketangi, aku akan mengobati penyakit ananda. Semoga sembuh bila Allah meridhoi." Sang paman segera meminta 3 lembar daun sirih dan sebotol air putih matang. Sementara istri Mangun Djojo membersihkan luka yang membengkak itu dengan air hangat.

Diceritakan bahwa daun sirih tadi dipanggang dan diolesi minyak kelapa dengan dibantu oleh para sahabat pengiring paman Abubakar. Sementara air di dalam botol langsung didoakan oleh sang paman. Setelah dibacakan surat Al Faatihah, KH.R. Abubakar menuangkan sebagian air putih itu ke dalam cangkir kecil dan meminumkannya ke Mangun Djojo. Selanjutnya tiga lembar daun sirih yang lentur terpanggang hangat-hangat kuku tadi ditempelkan ke luka yang membengkak itu dan dibalut kain agar tidak lepas.

Kepada Mangun Djojo, Abubakar berpesan supaya cara itu dilakukan secara rutin. Air putih matang dalam botol itu agar diminum 2 kali sehari pada saat pagi hari dan menjelang tidur malam. Sementara tiga helai daun sirih harus diganti setiap dua hari sekali dengan cara dipanggang terlebih dahulu baru kemudian diolesi minyak kelapa. Selanjutnya sebelum menempelkan daun sirih itu ke bagian yang luka harus diawali dengan bacaan
basmallah.

Kemudian sang paman, sang adik beserta para sahabat pengiringnya mohon pamit. Kepergiannya mereka diantar oleh istri dan kedua putera Mangun Djojo sampai pagar halaman. Sebelum berangkat KH.R. Abubakar menyampaikan sejumlah uang f.30 yang merupakan amanat Mangun Rekso. Namun ia memberi tambahan uang sejumlah f.20 dari saku pribadinya. Kepada kedua putera Mangun Djojo diberikan pula uang saku, masing-masing sebesar 20 sen golden dan 15 sen golden.

Sebelum pergi, kedua tamu agung Mangun Djojo mampir kembali ke rumah Carik Gentasari untuk mengambil kudanya yang ditambatkan di sana. Di sana mereka menyempatkan diri menerima tawaran tuan rumah untuk makan siang. Sang Carik juga menawarkan para tamunya untuk bermalam dan baru melanjutkan perjalannya ke Ketangi pada besok pagi. Tapi tawaran itu ditolak secara halus. Sebelum pergi, paman Abubakar sempat menitipkan Mangun Djojo beserta keluarga yang saat itu merupakan pendatang baru di desa itu kepada Carik Gentasari.

Konon sepanjang perjalan pulang terjadi perdebatan seru antara KH. R. Abubakar dengan R. Ronosembodro. Keduanya mempersoalkan pesan Mangun Djojo agar tidak menceritakan kondisi diri dan keluarganya selama dalam masa hijrah kepada kedua orang tuanya. "Bukankan ini dosa karena kita berdusta paman?" ujar Ronosembodro kepada sang Paman. Namun KH. R. Abubakar menepisnya; "Dalam hal ini tidak, nakmas. Ini yang dinamakan
dosa sembada. Benar laporan kita dusta, namun berdusta untuk kebahagiaan hati rama dan ibumu."

Beberapa waktu kemudian luka yang dialami Mangun Djojo mulai menunjukkan tanda-tanda kesembuhan. Peristiwa itu dikisahkan terjadi sebulan setelah kedatangan paman dan adik kandungnya. Saat itu, Mangun Djojo telah berusia sekitar 35 tahun. Kehidupannya semakin membaik karena ia menambah penghasilannya dengan membuka warung yang menjual aneka keperluan sehari-hari, seperti gula, teh, kopi dan bumbu dapur. Dengan dibantu sahabat pengiring setianya, istrinya berbelanja kebutuhan warung ke pasar Kroya. Saat itu dengan modal f.20-f.25, sebanyak 2 pikul penuh bermacam-macam barang kebutuhan warung sudah bisa didapat.

Dua tahun berlalu. Kedua putera Mangun Djojo sudah duduk di kelas 3 dan kelas 1 sekolah rakyat. Kabar duka datang menyelimuti desa Gentasari, karena sang Carik dikabarkan meninggal mendadak sesudah waktu Isya. Dua pekan sepeninggalnya Carik Gentasari, Pak Bekel pembantu Lurah Gentasari mendatangi Mangun Djojo dengan membawa amanat Lurah yang memintanya untuk menjadi Carik Desa Gentasari.

Keesokan paginya, Mangun Djojo menghadap Lurah Gentasari. Dengan segala kerendahan hati, ia menyatakan bersedia menjadi Carik Gentasari. Formulir riwayat hidup segera diisi langsung di hadapan Lurah dengan tulisan yang rapi dan indah, tebal-tipis-nya teratur dengan kemiringan 45 derajat. Lurah Gentasari sangat kagum kepadanya dan mempersilakan agar esok hari dapat segera mulai bekerja sambil menunggu surat pengangkatan dari Asisten Wedana Kroya.

Empat bulan setelah menjabat Carik Gentasari, kehidupan Mangun Djojo semakin membaik. Pondok sederhana di tepi lurung desa dan warung yang dimilikinya sudah berganti rupa. Saat itu telah berdiri rumah limasan baru bertiang kayu nangka, berdinding kayu nangka dengan ukiran gaya Banyumas. Menurut penduduk setempat, biaya renovasi rumah itu merupakan pinjaman dari kas kelurahan. Demikian pula tanah pekarangan dilunasi dengan cara mencicil dari hasil panen tanah bengkok yang diterima Mangun Djojo sebagai Carik Gentasari. Konon tanah bengkok miliknya seluas 15 bau sawah nomor 1 dan 5 bau sawah telar.

Dikisahkan bahwa luas tanah bengkok yang akan diterima jika menerima tawaran menjadi Carik Ketangi Daleman sangat berbeda jauh, yakni hanya sekitar 6 bau ditambah 2 bau sawah bantaran kali Bogowonto dekat Cabak Awu. Sementara jatah tanah bengkok bagi pejabat Carik Banyumas memang terkenal lebih luas ketimbang di daerah lain, seperti Ketangi maupun Bagelen.

Tiga tahun kemudian, tepat ketika Mangun Djojo berusia 40 tahun, Lurah Gentasari meninggal dunia karena sakit beberapa hari. Atas desakan masyarakat desa dan rekan-rekan pamong lainnya, Mangun Djojo diangkat secara resmi menjadi Lurah Gentasari. Pengangkatannya secara resmi dilakukan oleh Asisten Wedana Kroya atas nama Bupati Cilacap-Majenang. Sebagai lurah, Mangun Djojo berhak menerima sejumlah tanah bengkok seluas 50 bau yang terdiri 40 bau sawah nomor 1 dan 10 bau sawah telar.
Fitri Weningtyas & Gita Indrawanti