R MANGUN DJOJO II merupakan sosok Muslim yang berkepribadian teguh dan kuat namun memiliki nilai-nilai kehidupan yang tawakal, jujur dan penuh pengabdian. Ia dilahirkan sebagai manusia biasa dengan latar belakang keluarga yang sederhana namun tetap memiliki jiwa yang selalu ingin mengabdi kepada masyarakat sekitarnya.
Bermula dari kekalahannya dalam Pilkades (pemilihan kepala desa) yang hanya berbeda dua suara dengan sang pemenang, di penghujung abad ke-18. Saat itu, 4 bumbung "lidi suara rakyat" dari 4 calon Kades dibawa ke depan masyarakat Desa Ketangi Daleman untuk dibuka dan dihitung isinya. Lidi suara dikeluarkan dari bumbung dan ditampung di atas tampah beralaskan kain mori yang diletakkan di atas meja di hadapan peserta calon Kades. Namun Allah SWT berkehendak lain, jumlah lidi pada bumbung Mangun Djojo hanya terpaut dua lidi dengan sang pemenang pertama.
Peristiwa kekalahan itu telah membawa falsafah hidup Mangun Djojo semakin bertambah tinggi. Sebagai Muslim sejati, tampak sekali jika perjalanan hidupnya banyak diilhami oleh sikap hidup dan keteladanan Muhammad SAW yang pernah memutuskan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Di sini dapat dilihat bahwa makna hijrah yang dilakukan Mangun Djojo memang benar-benar ingin meningkatkan nilai-nilai kehidupan sebagaimana yang dijanjikan oleh Islam serta telah diteladani dan dibuktikan langsung oleh Rasulullah SAW.
Islam mengajarkan umatnya untuk menjalani kehidupan secara aktif dan dinamis. Ajarannya menganjurkan umatnya untuk melakukan langkah-langkah yang dapat memuliakan kehidupan di dunia dengan cara selalu bergerak dinamis agar dapat memberi manfaat seluas-luasnya kepada orang lain.
Selain itu, hijrah juga menjadi bagian kepribadian kaum Muslim yang selalu berfikir optimis. Sesungguhnya Allah SWT akan selalu membentangkan jalan seluas-luasnya kepada umat-Nya yang mau berusaha dan berikhtiar dengan kuat. Pertolongan Allah SWT akan selalu datang sepanjang umat-Nya selalu bertindak dengan penuh semangat yang tentunya didorong oleh doa yang dikumandangkan tanpa henti. Muhammad SAW dan para sahabatnya tanpa diduga pernah mendapat dukungan dan bantuan masyarakat Madinah (Anshar) ketika melakukan hijrah ke Madinah. Dalam versi yang berbeda, peristiwa seperti itu juga dialami Mangun Djojo beserta keluarga ketika melakukan hijrah keluar Desa Ketangi Daleman.
Kiprah Mangun Djojo dalam mengembangkan Desa Gentasari memang cukup memberikan landasan pembangunan yang cukup baik. Terbukti, desa itu dipercaya menjadi lokasi Museum Soesilo Soedarman yang diresmikan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik pada 3 September 2007.
Gentasari saat ini merupakan satu dari 269 desa yang berada di Kabupaten Cilacap. Kabupaten Cilacap adalah kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah. Di wilayah selatan kabupaten tersebut berbatasan dengan Samudra Indonesia, di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Banyumas, Kabupaten Brebes dan Kabupaten Kuningan (masuk wilayah Provinsi Jawa Barat). Sementara di sebelah timur Kabupaten Cilacap berbatasan dengan Kabupaten Kebumen, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar yang merupakan wilayah Provinsi Jawa Barat.
Keberadaan Museum Soesilo Soedarman di Gentasari sendiri cukup unik dan memosisikan desa tersebut dianggap penting dari desa-desa lain di Kabupaten Cilacap. Sebab menurut hitung-hitungan, Kabupaten Cilacap memiliki 269 desa yang dikelompokkan ke dalam 24 kecamatan. Dan museum yang menyimpan koleksi Jendral (Purnawirawan) Soesilo Soedarman semasa jadi taruna (1948) sampai akhir hayatnya (1997) itu tidak memiliki kaitan langsung dengan desa kelahirannya. Soesilo Soedarman tercatat lahir pada 10 November 1928 di Desa Nusajati, Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap. Fitri Weningtyas & Gita Indrawanti